Sunday, February 22, 2009

Pentingnya Rencana Pelaksanaan Pembelajaran

Pendidikan merupakan sesuatu hal yang mutlak ada dan harus dipenuhi dalam rangka meningkatkan kualitas hidup masyarakat dimana pendidikan harus bertumpuh pada pemberdayaan semua komponen masyarakat melalui peran sertanya dalam mewujudkan tujuan pendidikan yang dirumuskan secara jelas dalam Undang-Undang No 20 Tahun 2003, bahwa pendidikan nasional bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga Negara yang demokratis serta bertanggung jawab.

Menurut UU No 20 Tahun 2003 Pasal 36 Ayat 1 dan 2 Implementasi dari tujuan pendidikan tersebut, salah satunya ditentukan melalui pengembangan kurikulum berdasrakan standar nasional pendidikan dan berdasrakan prinsip diversifikasi sesuai dengan satuan pendidikan, potensi daerah, dan peserta didik.

1

Kurikulum diimplemetasikan untuk mengarahkan segala bentuk aktivitas pendidikan demi tercapainya tujuan-tujuan pendidikan merupakan salah satu komponen yang sangat penting dalam pendidikan formal. Kurikulum adalah pedoman yang akan dipakai oleh guru dalam melakukan pembelajaran di sekolah dalam membuat perencanaan pembelajaran, pelaksanaan pembelajaran dan sistem penilaian yang akan di gunakan.

Memahami esensi dasar Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) bahwa KTSP dikembangkan berdasarkan prinsip diversifikasi sesuai dengan satuan pendidikan, potensi daerah, dan peserta didik. Dalam pelaksanaannya, kurikulum ini dibuat oleh guru di setiap satuan pendidikan dan lebih disesuaikan dengan kondisi setiap daerah yang bersangkutan serta memungkinkan untuk memperbesar porsi muatan lokal.

Salah satu komponen yang mengacu pada prinsip tersebut adalah perencanaan proses pembelajaran yang telah diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 Pasal 20 bahwa “Perencanaan proses pembelajaran meliputi silabus dan Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) yang memuat sekurang-kurangnya tujuan pembelajaran, materi ajar, metode pengajaran, sumber belajar, dan penilaian hasil belajar”.

Mempersiapkan RPP adalah hal sangat penting dan harus dipenuhi oleh guru sebelum melaksanakan Proses Belajar Mengajar (PBM). Karena dalam prangkat RPP telah diperjelas mengenai tujuan instruksional, perencanaan bahan, perencanan alat, metode, dan prosedur-prosedur pembelajaran untuk mencapai tujuan tersebut. Namun, dalam pelaksanaannya dilapangan masih banyak guru yang tidak melaksanakan perosedur membuat RPP sebelum melaksanakan proses belajar mengajar.

Sunday, February 15, 2009

Dialog Mahasiswa Geografi

DRAF RANCANGAN SEMENTARA HASIL DIALOG ANTAR MAHASISWA

JURUSAN GEOGRAFI FAKULTAS MIPA UNIVERSITAS NEGERI MAKASSAR

Dewan Eksekutif Mahasiswa Jurusan Geografi Periode 2005/2006

Tanggal 28 Desember 2006

WACANA

Eksistensi Tridarma Perguruan Tinggi

Visi perguruan tinggi di Indonesia harus dipusatkan pada optimalisasi kontribusi terhadap upaya peningkatan kualitas bangsa Indonesia, pengembangan ipteks, budaya, dan identitas bangsa secara keseluruhan. Perguruan tinggi harus tampil sebagai leader dalam pengembangan kemajuan dan peradaban bangsa (civilized society), sehingga menjadi andalan seluruh bangsa ini. Kiprah ini meletakkan perguruan tinggi sebagai titik strategis pembangunan nasional dan sebagai aset nasional yang harus tumbuh dan berkembang terus. Perguruan tinggi mempunyai misi yang bersifat nasional dan merupakan infrastruktur untuk melahirkan pemimpin bangsa. Tridarma Perguruan Tinggi yang selama ini merupakan misinya memerlukan kaji ulang, sehingga perguruan tinggi itu mempunyai peran yang lebih bermakna dan fungsional dalam pembangunan bangsa ini.

Misi perguruan tinggi yang tedapat dalam Tri Darma Perguruan Tinggi

· Mengembangkan pendidikan akademik dan atau/atau profesional dalam bidang kependidikan dan nonkependidikan yang diarahkan untuk menghasilkan manusia yang bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa yang memiliki kecerdasan dan keterampilan yang bermanfaat bagi pembangunan bangsa dan negara;

· Mengembangkan kegiatan penelitian untuk mengkaji dan mengembangkan ilmu pengetahuan, taknologi, dan kesenian yang menyejahteraka individu dan masyarakat dan mendukung pembangunan nasional;

· Mengembangkan kegiatan pengabdian kepada masyarakat yang mendorong pengembangan segala potensi alam dan manusia, baik secara individu maupun bersama, untuk mewujudkan masyarakat belajar dalam kerangka pembangunan nasional

· Mengembangkan sistem kelembangaan, organisasi, manajemen dan administrasi, budaya kerja sinergis, dan sumber daya manusia yang menghargai belajar, tanggungjawab kreaif, nilai-nilai keadilan, dan kewirausahaan dalam melaksanakan tridarma perguruan tinggi dan otonomi pendidikan tinggi

Tujuan Pencapaian Visi Misi

· Membentuk manusia yang bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berkepribadian dan berahlak mulia, memiliki kecerdasan dan keterampilan yang bermanfaat bagi dirinya dan bagi pembangunan bangsa dan negara dengan menyelenggarakan pendidikan akademik dan atau profesional dalam bidang kependidikan dan non kependidikan;

· Memelihara, mengembangkan, mencitakan dan menyebarluaskan ilmu pengetahuan, teknologi, dan kesenian yang mensejahterakan individu dan masyarakat serta mendukung pembangunan nasional melalui berbagai kegiatan akademik dan penelitian yang relevan;

· Mewujudkan manusia dan masayarakat belajar melalui kegiatan pengabdian kepada masyarakat yang mendorong pengembangan segala potensi alam dan manusia, baik secara individu maupun bersama, dalam kesatuan integral dengan pembangunan nasional;

· Mewujudkan keunggulan dalam bidang kependidikan melalui upaya-upaya pengembangan pendidikan akademik dan/atau profesional, keilmuan, dan unsur-unsur terkait, dan dengan komitmen untuk merespon segala permasalahan pendidikan dan kehidupan secara kreatif, inovatif, dan berkeadilan;

· Mewujudkan sistem kelembagaan, organisasi, manajemen dan adminsitrasi, budaya kerja sinergis, dan sumber daya manusia yang menghargai belajar, tanggung jawab kreatif, nilai-nilai keadilan, dan kewirausahaan dalam melaksanakan Tridarma

Perguruan Tinggi, Ke Mana Setelah Otonomi?

DAMPAK pelaksanaan otonomi perguruan tinggi atau PT sejauh ini belum dapat dikatakan positif. Pertama, biaya kuliah tinggi harus ditanggung mahasiswa karena beban tanggung jawab PT untuk membiayai sendiri penyelenggaraan operasionalnya. Sebagai contoh, di Universitas Gadjah Mada, mahasiswa Fakultas Kedokteran yang baru masuk harus membayar Rp 21,8 juta (Kompas Edisi Jogja, 13/7/2004).

KEDUA, bermacam program pendidikan yang ditawarkan para pengelola PT untuk memaksimalkan pemanfaatan potensi institusinya tidak dapat dimungkiri bermuara pada upaya mencari sumber-sumber pendanaan. Unit-unit pelayanan dikerahkan menyelenggarakan berbagai kegiatan yang mendatangkan uang bagi unit itu. Keanggotaan Perpustakaan yang semula boleh dikatakan gratis karena termasuk fasilitas akademik, kini dikenai biaya, Laboratoium sebagai Saran juga telah dikomersialkan, unsur dan unit institusional PT telah berubah menjadi mesin Kapital.

NAMUN, yang paling mengkhawatirkan, otonomi PT ditafsirkan sebagai pendelegasian wewenang kepada setiap prodi dan unit pelayanan untuk beroperasi mencapai tujuannya sendiri, dengan cara dan dalam ukuran akuntabilitasnya sendiri. Setiap unsur dalam PT dibiarkan mengurusi diri sendiri. Seolah dilakukan distribusi kewenangan dan legalitas, namun apa yang sebenarnya terjadi adalah, meminjam istilah Drost (1999), keberagaman dalam keterserakan. Dalam situasi demikian, bukan saja ancaman terjadinya Multiversitas begitu nyata, tetapi juga kerja interdisipliner sebagai agenda multikulturalisme (Kocklemans, 1979) tidak dapat diharapkan tersemai dalam dunia Perguruan Tinggi (PT) . Artinya, dalih-dalih mendorong kinerja PT sebagai pencerah masyarakat, otonomi justru memperkokoh Orientasi Kapitalistik dan memupus misi dasar keberadaan PT. Ke sanakah arah PT setelah otonomi?

Kiranya banyak hal esensial selain pendanaan yang seharusnya menjadi perhatian para pengelola PT di era otonomi ini. Misalnya, dengan otonomi, PT berwenang menentukan bobot muatan kurikulum untuk menunjukkan keunggulan khas masing-masing sebagai wujud refleksi keprihatinan apa yang terjadi di masyarakat, seperti diatur dalam Keputusan Menteri Pendidikan Nasional (Kepmendiknas) No 232/U/2000. Semangat otonomi seharusnya menumbuhkan keberanian para pengelola PT menentukan/membentuk badan akreditasi yang dianggap sesuai dengan misi keberadaan Institusinya. Kerja sama PT perlu dilakukan untuk mengembangkan sektor-sektor pelayanan PT, misalnya kuliah antar-PT untuk memperluas wawasan mahasiswa. Singkatnya, selain tanggung jawab pendanaan, sisi lain otonomi sebenarnya adalah kesempatan untuk mewujudkan gagasan civitas akademika tentang jati diri keilmuan (institusi) mereka di masa depan.

MASALAHNYA, tidak banyak pengelola PT yang menganggap pencarian jati diri keilmuan sebagai tantangan mendasar keberadaan PT dewasa ini. Persoalan mempertahankan “hidup” institusi telah mengarahkan perhatian para pengelola PT semata pada pengembangan yang langsung mendatangkan dana. Visi kepemimpinan PT dewasa ini adalah bagaimana mengolah segala potensi menjadi dana pembiayaan operasional PT.

Fungsi dekan fakultas, misalnya, bukan lagi head of school yang membawa visi pengembangan suatu bidang ilmu sebagaimana dilakukan John Dewey, tetapi sebagai administrator. Dalam iklan-iklan lowongan menjadi rektor atau dekan di suatu PT, disyaratkan managerial skill dan pengalaman sebagai chief executive officer (CEO) suatu perusahaan, namun tidak disyaratkan landasan visi filsafat pendidikan. Manajemen PT dipandang sebagai murni manajemen perusahaan sehingga Menteri Pendidikan Nasional Malik Fadjar meminta para pengelola PT berperilaku seperti manajer (Kompas, 13/7/2004).

Secara khusus, para dosen mengeluhkan beban kerja (workload) mengajar yang menyita praktis seluruh waktu mereka. Ini persoalan klasik yang dirasakan juga para dosen di Amerika Serikat (Menges & Austin, 2001). Di negara itu, bahkan dosen yang mengajar di research university mengaku sebagian besar waktu mereka habis untuk mengajar daripada meneliti. Di Indonesia, beban mengajar dosen umumnya berkait langsung dengan nominal penghasilan. Namun, upaya untuk “menyeimbangkan” beban mengajar dan meneliti dengan menaikkan insentif penelitian tidak serta-merta memacu dosen meneliti, seperti terjadi di sebuah PT di Yogyakarta. Jadi, meski mengeluhkan beban mengajar dan mengidealkan kegiatan meneliti untuk meningkatkan profesionalitas keilmuan, dosen agaknya telah merasa mapan dengan rutinitas mengajar. Dalam semangat otonomi PT, fenomena kemapanan ini perlu dikaji dan dirombak.

Mentalitas mapan menyebabkan kemandekan produktivitas kerja intelektual dosen, seperti ditengarai Nurhudin (Jawa Pos, 29/2/04) dan Nur Khalid Ridwan (Jawa Pos, 7/3/04). Sementara menurut Heru Nugroho (Kedaulatan Rakyat, 16/2/04), orientasi ekonomi politik telah memasung kekritisan sivitas akademika sehingga ogah berpikir rumit, puas dengan predikat “pencari kebenaran” yang disematkan masyarakat, dan mapan dengan daya jual ilmu yang dimilikinya.

Refleksi itu mungkin benar. Namun, saya melihat anggapan keliru tentang keseimbangan pelaksanaan unsur-unsur tridarma PT turut mendorong tenggelamnya profesionalitas dosen. Anggapan umum, mengajar lebih mudah daripada meneliti. Misalnya, bahan ajar, penjelasan lisan di kelas, contoh-contoh dan bahan ujian dapat disiapkan sekali saja untuk mata kuliah yang sama. Anggapan ini tentu tidak tepat. Mengajar, meneliti, dan melaksanakan pengabdian masyarakat sama tidak ringannya jika itu dijalankan dengan sungguh- sungguh.

Oleh karena itu, tuntutan agar dosen melaksanakan seluruh ketiga unsur tridarma PT sebenarnya tidak realistis. Dosen tidak mungkin sekaligus menjadi pengajar, peneliti, dan pelaksana pengabdian masyarakat, kecuali jika peran-peran itu cukup dijalankan secara setengah-setengah. Seperti dicatat Menges & Austin, di AS universitas yang berusaha menekankan seluruh ketiga unsur tridarma bagi dosen-dosennya hanya menuai inefisiensi dan keluhan lebih besar.

DENGAN otonomi dewasa ini, PT di Indonesia harus berani memilih unsur mana dari tridarma PT yang akan dijadikan misi dan tekanan utamanya. Dengan satu misi, proses perwujudannya akan lebih terfokus dan sungguh-sungguh. Meskipun demikian, hal terpenting adalah motivasi para dosen di PT itu. Mungkin para pengelola PT perlu menciptakan mekanisme untuk terus-menerus menumbuhkan motivasi profesi dosen agar mereka yang semula menjadi dosen secara kebetulan kemudian menjadi dosen yang betul-betul. Revitalisasi jati diri keilmuan harus dimulai dengan dosen-dosen yang penuh semangat menghayati dan menjalankan profesinya. Ini hanya mungkin jika dalam menyelenggarakan PT, para pengelola PT mampu menghidupi paradigma di luar paradigma untung-rugi ekonomi.Kiranya kita sepakat, arah dan dampak otonomi PT tergantung sivitas akademika di setiap PT, apakah kian borjuis, elite, dan kapitalistik, atau membawa pencerahan dan perbaikan mutu.

Profesionalisme Tenaga Pengajar (Dosen dan Guru)

Jika kita cermati hiruk-pikuk penyambutan UU Guru-Dosen yang dilakukan jajaran pendidikan, khususnya dosen, terasa lebih dipicu oleh naluri memperjuangkan hak-hak mendapatkan kesejahteraan, tetapi lupa dengan upaya meningkatkan profesionalisme kalangan pendidikan.

Hal ini dapat dilihat dari proses tarik ulur mendapatkan hak peningkatan kesejahteraan yang lebih serius dibahas oleh berbagai pihak, ketimbang kewajiban meningkatkan profesionalisme. Padahal capaian hak-hak kesejahteraan tersebut baru terwujud apabila profesionalisme sudah melekat pada jajaran pendidikan, khususnya dosen.

Berbicara masalah profesionalisme dosen, seiring dengan lahirnya UU Guru-Dosen, kita memang belum mendapatkan format ideal. Karena berbagai keterbatasan di sana-sini, sehingga jajaran pendidikan tinggi, dosen yang nota bene tidak saja sebagai pendidik, pengajar tetapi juga sebagai ilmuan, belum dapat menampilkan kinerja profesionalisme yang memadai. Dalam bunyi pada UU Guru-dosen tersebut, definisi, batasan dan indikator terminologi "profesional", belum jelas benar, kecuali batasan-batasan leksikal yang dipahami sebagai tugas, jabatan, fungsi dan kewenangan seseorang dilakukan dengan nilai-nilai profesi (Dj. Drost, 2004). Jika dokter, pengacara, hakim, jaksa, dan profesi lainnya bisa dengan mudah dibedakan dengan profesi lainnya, maka bagaimana dengan tenaga kependidikan, khususnya dosen? Jika seorang sarjana kedokteran bisa dengan mudah dibedakan kinerja dan hasil kerjanya dengan profesi pengacara, misalnya, maka keduanya memang layak dan ideal diberi label "profesi" yang di dalamnya dilakukan secara profesional. Artinya, tugas mengobati, mencegah dan merehabilitasi kesehatan manusia hanya bisa dikerjakan oleh seorang dokter. Dengan label keilmuan, kompetensi di bidang kesehatan, pengobatan dan sejenisnya, tugas dan kewenangan dokter tidak bisa tergantikan.

Jika kita mengacu kepada profesi guru-dosen, (dengan disahkannya UU Guru-Dosen, berarti dua jabatan tersebut sudah diakui sebagai profesi, layaknya profesi dokter, pengacara dan lainnya-red), maka menjadi kewajiban pemegang profesi untuk terus meningkatkan mutu profesinya, dan jika perlu merumuskan/mendesain profesinya agar bisa tampil beda, tidak saja sekadar dibedakan melalui selembar sertifikat, tetapi terpenting justru kinerja, etos dan hasil kerja yang bisa diukur dengan kasad mata. Artinya, jika guru-dosen dimasukkan profesi, maka tidak saja dibutuhkan organisasi/lembaga yang memutuskan profesi seseorang, tetapi juga hasil kerja profesi tersebut harus bisa terukur dengan jelas.

Harus diakui bahwa untuk mengukur kinerja, etos dan hasil kerja suatu profesi tidaklah mudah, apalagi bila serangkaian indikator dan parameter belum pasti, bersifat normatif, sehingga menjadi kabur dan akhirnya tidak jelas. Tetapi setidaknya ada dua parameter yang bisa dirujuk agar suatu profesi benar-benar diakui sebagai benar (taken for granted) sebagai sebuah profesi.

Gagasan pengamat pendidikan tinggi, Dharmaningtyas, (2004) bisa dijadikan acuan.

Pertama, sebuah tugas, kewenangan, fungsi dan jabatan dapat dikatakan sebuah profesi manakala hasil kerjanya dapat membedakan dengan hasil kerja dari seseorang/suatu jabatan di luar profesinya.

Seiring dengan telah diakuinya dosen sebagai profesi, maka kerja, kewenangan, tugas, jabatan dan fungsi dosen harus benar-benar sesuai dengan profesinya, yakni mendidik, mengajar, melatih dan mengembangkan ilmu (ilmuan). Tugas dan kewenangan tersebut hanya bisa diakui sebagai benar apabila ada parameter yang jelas. Artinya menjadi tugas dan kewajiban dosen untuk lebih serius meningkatkan kemampuan/kompetensi, keterampilan dan sikap hidup mahasiswanya, sehingga tambah umur, mahasiswa tambah pintar/cerdas, tambah dosen tambah semarak pengembangan ilmu, dan tambah penghasilan tambah semarak PT dalam penemuan iptek guna memajukan bangsa-masyarakat, dan bukan sebaliknya. Itulah kesadaran "profesi" yang harus hadir di kala kesadaran kesejahteraan meningkat beriringan.

Kedua, kesadaran mengembangkan profesi sesuai dengan dinamika masyarakat. Kesadaran peningkatan profesi itu tidak hanya mengarah pada pencapaian pendidikan lanjutan sesuai dengan standar peningkatan kompetensi yang diperlukan, tetapi secara kreatif-produktif turut memikirkan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.

Harus diakui bahwa dosen-dosen kita belum pada tataran produsen ilmu dan teknologi tetapi masih pada tataran konsumen loyal ilmu dan teknologi. Hal ini bisa dilihat dari kuantitas dan kualitas hasil riset/penelitian yang kian tahun bukannya semakin meningkat tetapi justru sebaliknya. Di samping lantaran kurangnya pendanaan sebagai masalah klasik, hemat penulis, lebih disebabkan tiadanya mekanisme yang mendorong dosen mau mengadakan penelitian kecuali hanya sebatas kewajiban memenuhi angka indeks sesuai dengan tugas pokoknya sebagai dosen. Akhirnya, ketimbang kreatif mengembangkan iptek, mereka lebih cenderung ngobyek "ngalor-ngidul", sambil berbisnis yang kadang jauh di luar profesi mereka.

Dengan adanya berbagai jaminan dan peningkatan kesejahteraan seperti yang dijanjikan UU tersebut, sudah selayaknya jajaran tenaga pendidikan, khususnya dosen lebih serius dalarn pengembangan iptek, sehingga profesi yang diembannya benar-benar dapat dijalankan secara profesional dan secara signifikan mampu menghasilkan indikator yang jelas atas profesinya tersebut. Jika tidak, maka akan berhadapan dengan sejumlah risiko yang potensial menimbulkan masalah/konflik turunan atas kebijakan peningkatan kesejahteraan tersebut.

PROBLEMATIKA (kondisi realitas Kekinian Jurusan Geografi)

1. Birokrasi

a. Substansi Seorang Dosen dan Birokrasi Jurusan Geografi Masih jauh Melenceng dari nilai yang sebenarnya.

b. Kurang maksimalnya pelayanan Administrasi mahasiswa (Pengelolaan arsip-arsip nilai M.K terkesan amburadul)

c. Pengambilan kebijakan secara sepihak dan tidak aspiratif dalam ruang lingkup internal jurusan (Pengelolaan Laboratorium, Pelatihan Karya tulis ilmiah sebagai salah satu syarat Pengusulan Judul skripsi).

2. Akademik

a. Perubahan Jadwal kuliah oleh Dosen/ asisten secara sepihak.

b. Lambatnya keluar nilai M.K sesudah Final

c. Penanganan dana praktek lapang oleh asisten

d. Akreditasi program studi (Geografi Manusia)

e. Kurang jelasnya orientasi kurikulum yang berlaku di jurusan, alumni geografi mau di arahkan kemana..??

3. Lembaga Kemahasiswaan Jurusan Geografi

a. Tidak Adanya Dukungan Terhadap Kadernisasi Lembaga Kemahasiswaan Jurusan Geografi.

b. Tidak adanya Peran Jurusan Sebagai Partner Lembaga Kemahasiswaan jurusan Geografi.

UPAYA SOLUTIF

1. Birokrasi

a. Refomasi Birokrasi (Kejelasan Kinerja)

Senantiasa Mengedepankan Profesionalisme kerja dalam menjalankan Kedudukan sebagai Birokrasi Jurusan, yang mana kami pahami bahwa antara birokrasi dan dosen merupakan dua profesi yang sangat jauh berbeda.

b. Pelayanan Administrasi Nilai MK

Memaksimalkan fasilitas komputerisasi jurusan dalam penanganan nilai nilai M.K, dalam hal ini dikemas secara apik berdasar pada urutan angkatan dan M.K yang bersangkutan.

c. Mengadakan titik rembuk bersama melibatkan unsur-unsur terkait (Dosen, Lembaga Kemahasiswaan, Mahasiswa) pada setiap rencana pengambilan kebijakan jurusan.

2. Akademik

1. Melibatkan mahasiswa yang memprogramkan M.K yang terkait dalam pemindahan jadwal M.K.

2. Dosen Penanggung jawab M.K mengeluarkan nilai Kolektif 7 hari pasca final berlangsung, yang kemudian dimasukkan sebagai data nilai- nilai M.K pada sistem komputerisasi jurusan.

3. Menyerahkan sepenuhnya penanganan teknis praktek lapang pada kepanitiaan yang terbentuk.

4. Birokrasi menggodok keberadaan akreditasi program studi ‘manusia’ dan kalau terkesan setengah- setengah lebih baik hapuskan saja. Kasian mahasiswanya..!!

5. Menerapkan kurikulum yang berdasar atas aturan DIKTI. adapun yang kurang, kemudian diusulkan ke DIKTI untuk dijewantahkan dalam bentuk M.K pilihan.

3. Lembaga Kemahasiswaan

1. Adanya bentuk dukungan nyata (suport moril,pikiran, ide, dana) dari jurusan dalam setiap kegiatan pengkaderan yang dilaksanakan oleh L.K.

2. Senantiasa memposisikan L.K sebagai sparing partner dalam setiap pengambilan kebijakan, demi pengembangan jurusan geografi yang lebih maju, kompetitif dan sedikit direken untuk taraf nasional pada khususnya dan internasional pada umumnya.

Skripsi Pendidikan

ABSTRAK

Ilham, 2008. Faktor Penghambat Guru Geografi SMU Negeri dalam Menyusun Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) di Kota Makassar. Skripsi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Negeri Makassar.

Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif yang bertujuan untuk mengetahui: (1) Faktor-faktor penghambat guru geografi SMU Negeri di Kota Makassar dalam menyusun RPP, (1) Sejauh mana Factor-faktor penghambat tersebut menghambat guru geografi SMU Negeri di Kota Makassar dalam menyusun RPP?

Populasi dalam penelitian ini adalah semua guru geografi SMU Negeri di Kota Makassar berjumlah 41. Sedangkan sampel dalam penelitian ini adalah sampel total dari jumlah keseluruhan populasi guru Geografi SMU Negeri di kota Makassar. Pengambilan data dilakukan dengan menggunakan : (1) instrumen angket mengenai kendala guru dalam menyusun rencana pelaksanaan pembelajaran, (2) instrumen angket penilaian kelengkapan komponen rencana pelaksanaan pembelajaran RPP.

Faktor-faktor yang menjadi penghambat guru Geografi SMU Negeri di Kota Makassar adalah kurangnya keterampilan guru dalam menyusun komponen perencanaan dalam RPP, tidak adanya waktu yang luang dalam menyusun RPP, sulitnya menyesuaikan waktu, minimnya dana dalam mempersiapkan RPP, minimnya dana dalam mempersiapkan PBM dan kegiatan praktek, minimnya media dan perlengkapan pendukung yang dapat direnacanakan penggunaan dalam PBM, minimnya fasiltas ruangan dalam merencanakan PBM.

Dari beberapa variabel faktor penghambat yang telah dirumuskan menunjukkan bahwa tingkat peresentase terbesar yang dihadapi guru adalah faktor minimnya dana dan faktor kurangnya media dan perlengkapan pendukung dalam menyusun Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP).

KONSEP DAN ARAH PENGEMBANGAN SISWA PECINTA LINGKUNGAN HIDUP (SISPULIH) DI SMA NEGERI 1 MALLUSETASI KABUPATEN BARRU

Oleh : Ilham, s.pd (Guru Geografi SMU Negeri 1 Mallusetasi) Keinginan setiap manusia untuk meningkatkan kalitas hidup merupakan sesuatu yang...